Iman Herdiana
Rabu, 25 Januari 2012 - 10:58 wib
Atapers padati KRL ekonomi (foto:okezone)
KETIKA mendengar nama kereta, stigma orang langsung berfikir murah, cepat, massal dan juga adaptif dengan tugas pokok dan fungsi mobilitas arus penumpang dan barang di atas rel.
Transportasi dengan multi keunggulan dengan moda lainnya ini, ada di Indonesia pertama kali pada 17 Juni 1864 yang dibangun di Semarang oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, LAJ Baron Sloet van den Beele.
Baru setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, karyawan perusahaan kereta api yang tergabung dalam Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA) mengambil alih kekuasaan perkeretaapian dari Jepang.
Selanjutnya, seperti dilansir dari wikipedia, pada 28 September 1945, sejumlah anggota AMKA membacakan pernyataan sikap yang dipimpin oleh Ismangil. Mulai hari itu kekuasaan perkeretaapian berada di tangan bangsa Indonesia sehingga Jepang sudah tidak berhak untuk mencampuri urusan perkeretaapian di Indonesia.
Inilah yang melandasi ditetapkannya tanggal 28 September 1945 sebagai Hari Kereta Api serta dibentuknya Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI).
Dalam perjalanannya, nama DKARI diubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA). Nama itu diubah lagi menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) pada tanggal 15 September 1971. Pada tanggal 2 Januari 1991, nama PJKA secara resmi diubah menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) dan semenjak tanggal 1 Juni 1999 diubah menjadi PT Kereta Api Indonesia (Persero) sampai sekarang.
Sejak itulah, kereta api terus menjadi favorit bagi penggunanya. Itu juga menunjukkan bahwa kereta api tidak lagi dipandang sebelah mata, apalagi bila melihat harga BBM yang terus melambung tinggi, serta padatnya pengguna kendaraan pribadi setiap harinya di Ibu Kota.
Berkaca dari itu, kereta api memang jawaban yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan kependudukan, kemacetan, keberagaman transportasi publik yang ada saat ini.
PT KAI dan pemerintah sudah saatnya berbenah menyikapi kemauan pasar dengan memberikan pelayanan terbaik terhadap transportasi massal ini, khusus di Jabodetabek.
Karena, bagaimanapun kenyamanan dan keamanan penumpang jauh lebih penting. Persoalan penumpang yang suka naik di atap gerbong tidak bisa diabaikan, itu akan terus jadi pekerjaan rumah PT KAI, pemerintah dan instansi terkait lainnya, untuk terus memikirkan cara terbaik dan manusiawi.
Bila berbagai upaya sudah dilakukan, tetapi masih ada ‘Atapers’ (sebutan penumpang di atap gerbong kereta) yang bandel, ini menunjukkan betapa lemahnya disiplin dan budaya keselamatan.
Siapa yang salah disini? Pemerintah ataukan masyarakat yang tidak sadar akan keselamatan.
Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan menyatakan, memang tidak mudah mengurusi perkeretaapian Indonesia. Terlebih ketika dia merasakan sendiri saat ikut naik gerbong
KRL ekonomi Jakarta-Bogor.
Dahlan bilang, waktu itu dia begitu terharu terharu dengan kondisi kereta api jurusan Jakarta-Bogor yang terkenal padat. “Saya prihatin melihat banyak orang yang tiap hari berhimpit-himpitan, belum lagi mereka yang berada di atap gerbong,” kata Dahlan Iskan.
"Dan ternyata betapa tidak mudah mengurusi kereta api itu. Tidak gampang yah,” jelas bos media Jawa Pos.
Ke depan kata Dahlan, harus ada langkah bertahap, bisa dengan menambah rangkaian gerbong atau PT KAI fokus pada perbaikan rute KRL Bogor-Manggarai.
Beda Jakarta dengan Bandung
Tanpa ada kereta api, Jakarta akan mengalami urbanisasi besar-besaran. Pasalnya, orang akan memilih menginap di Jakarta daripada pulang pergi untuk kerja sambil menghadapi macetnya lalu lintas.
Kereta Api bisa mengantar jemput penumpang dengan lancar dan murah. Tiap harinya ribuan orang datang ke Jakarta dan ribuan orang pula yang keluar Jakarta. Tidak heran jika Atapers KA di Jakarta jumlahnya sangat besar.
Disisi lain, pertumbuhan penumpang yang tidak sebanding dengan tumbuhnya sarana dan prasarana KA. Terlebih saat ini belum tersedianya transportasi yang bisa secepat dan semurah KA yang bisa menjadi pilihan masyarakat.
“Jadi solusi bukan hanya harus disediakan PT KAI, tetapi harus ada sinergi dengan sistem transportasi lain. Misalnya di tiap stasuin KA ada angkutan perusahaan atau angkutan kota yang memadai,” kata kata Kepala Humas PT KAI Bambang S Prayitno saat berbincang dengan okezone.
Penerapan bola-bola beton sendiri merupakan upaya untuk meningkatkan kesadaran penumpang. Karena dengan menjadi Atapers, dia bukan hanya membahayakan dirinya sendiri tetapi juga orang lain.
Beda Jakarta dengan daerah lainnya. Di Bandung contohnya, prilaku penumpangnya, umumnya berbeda dengan penumpang yang di Jakarta.
“Kultur dan prilaku masyarakat Bandung umumnya berbeda dengan penumpang KA yang menuju Jakarta. Sehingga pendekatannya pun berbeda,” terangnya.
Bambang mengakui, memang masih ada penumpang yang memilih naik di atap. Tetapi mereka bisa ditertibkan dengan cara sosialisasi dan penerapan aturan tegas. Atapers di wilayah Daop II bisa terkendali tidak seperti di Jakarta.
“Mereka begitu karena memang betul-betul butuh transportasi. Rata-rata Atapers di wilayah Daop II ini beli karcis,” pungkasnya. “Jadi di Bandung engga masalah. Meski masih ada Atapers tetapi masih bisa tertib,”
Disinggung langkah menghadapi Atapers penumpang KA menuju Bandung, pihaknya tidak berencana menerapkan sistem bandul beton.
“Rencana bandul di Bandung perlu dikaji karena masalah di sini beda dengan di Jakarta. Di Bandung para penumpang masih bisa dicegah dengan sosialisasi,” paparnya.
Karena itu, ke depan dia mengusulkan masyarakat harus terbiasa buat jadwal keberangkatan seperti pesawat dengan cara reservasi. “Memang untuk kelas ekonomi masih meraba, baru 30 persen yang reservasi, kebanyakan beli tiket pas hari H,” ujarnya.
Jika sistem tiketing itu lancar dan menunjukan okupansi yang tinggi, tidak menutup kemungkinan ada penambahan gerbong. Kendalanya, penambahan gerbong bagi kelas ekonomi tergantung pemerintah.
“Penambahan gerbong perlu investasi. Terutama kelas komuter ekonomi ada di ranah pemerintah. Untuk komersial bisa investasi,” jelasnya.
0 komentar:
Posting Komentar